Abu Hanifah adalah nama panggilan
untuk imam Nu’man bin Tsabit At-Taimi. Selain ahli di bidang fiqih, ia juga
seorang ahli ibadah yang sangat jujur, amanah, wara’, dan zuhud. Ia dikenal
sangat berhati-hati dalam berfatwa. Ia tidak menginginkan jabatan dan rela
dihukum cambuk oleh gubernur Kufah karena menolak diangkat menjadi hakim.
Kisah kejujuran dan amanahnya telah
diceritakan oleh banyak ulama dan orang shalih yang hidup sezaman dengan imam
Abu Hanifah. Salah seorang kawan Abu Hanifah yang bernama Kharijah bin Mush’ab
menuturkan pengalamannya bergaul dengan sang imam. Katanya, “Saya berangkat ke
Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saya menitipkan seorang budak perempuanku
kepada Abu Hanifah. Di Makkah, aku tinggal kurang lebih empat bulan. Sepulang
dari haji, saya segera menemui Abu Hanifah.
Saya bertanya kepadanya, “Bagaimana
engkau menilai pelayanan dan akhlak budak perempuan ini?”
“Barangsiapa
menghafal Al-Qur’an dan menjaga ilmu tentang halal dan haram bagi masyarakat,
niscaya ia harus menjaga dirinya dari fitnah. Demi Allah, sejak engkau
berangkat haji sampai engkau pulang dari haji saat ini, aku belum pernah
melihat budak perempuan yang engkau titipkan itu,” jawab imam Abu Hanifah.
Jawaban Abu Hanifah sangat
mengagetkan Kharijah bin Mush’ab. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Abu
Hanifah karena telah menjaga dan menampung budak perempuannya, Kharijah segera
pulang membawa budaknya itu.
Setiba
di rumah, Kharijah langsung menanyai budak perempuannya tentang akhlak dan
kegiatan harian Abu Hanifah selama di rumah. Jawaban yang diberikan oleh budak
perempuan itu sungguh lebih mengejutkan lagi. Kata budak perempuan itu,
“Aku tidak pernah melihat dan mendengar orang sehebat dia. Sejak aku tinggal di dalam rumahnya, aku belum pernah melihatnya tidur di atas kasur (di waktu malam). Aku juga tidak pernah melihatnya mandi junub walau hanya sekali, baik di waktu siang maupun malam.
“Aku tidak pernah melihat dan mendengar orang sehebat dia. Sejak aku tinggal di dalam rumahnya, aku belum pernah melihatnya tidur di atas kasur (di waktu malam). Aku juga tidak pernah melihatnya mandi junub walau hanya sekali, baik di waktu siang maupun malam.
Jika
hari Jum’at, ia berangkat untuk shalat
Subuh, lalu kembali ke rumahnya dan mengerjakan shalat Dhuha secara ringan. Hal
itu karena ia berangkat pagi-pagi benar ke masjid jami’ untuk shalat Jum’at. Ia
akan mandi Jum’at, lalu memakai minyak wangi dan berangkat shalat Jum’at.
Selain
itu, aku tidak pernah melihatnya makan di waktu siang. Biasanya ia makan di
waktu sore, tidur sedikit sekali di waktu malam, kemudian berangkat ke masjid
untuk shalat Subuh.”
Pengalaman
yang dilihat oleh budak perempuan itu selama empat bulan di rumah
imam Abu Hanifah memang merupakan sebuah kenyataan yang sebenarnya. Budak itu
tidak melebih-lebihkan ceritanya. Abu Hanifah biasa menghabiskan waktu malamnya
dalam shalat malam, membaca Al-Qur’an dan sampai Shubuh wudhunya tidak batal.
Di waktu malam, ia hanya sedikit tidur.
Asad
bin Amru berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah melaksanakan shalat Isya’ dan
Subuh dengan satu wudhu selama empat puluh tahun.”
Salah
seorang muridnya, Abdul Hamid Al-Himani, pernah tinggal di rumah imam Abu
Hanifah selama enam bulan penuh. Ia menceritakan pengalamannya tentang Abu
Hanifah, “Saya tidak pernah melihatnya shalat Shubuh melainkan dengan wudhu
shalat Isya’, dan ia mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam pada waktu sahur.” (Siyaru
A’lam an-Nubala’, 6/400)
Bukti-bukti nyata tentang sifat
amanah imam Abu Hanifah sangatlah banyak dan terkenal karena diabadikan oleh
para sejarawan Islam dalam karya-karya mereka.
Salah satu kisah di atas mengajarkan
kepada kita bagaimana seorang ulama menjaga amanah dengan memberi tampungan
rumah, makanan dan minuman kepada seorang budak perempuan milik kawannya selama
empat bulan penuh. Gratis tanpa memungut biaya sedikit pun.
Dalam waktu selama itu, sang ulama
tidak pernah meminta sang budak perempuan itu untuk mengerjakan pekerjaan dalam
rumahnya, baik pekerjaan ringan maupun berat. Padahal ia hanyalah seorang budak
yang biasa disuruh-suruh secara gratis tanpa upah. Bahkan sang ulama tidak
pernah sekalipun memandang wajah budak perempuan itu. Semua urusan yang
berkaitan dengan kebutuhan budak itu diserahkannya kepada istri atau budaknya
sendiri.
Subhanallah, sebuah contoh yang sangat hebat tentang menjaga amanah,
sekaligus menjaga diri dari fitnah godaan wanita. Dari Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
mengingatkan,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً
أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Setelah
aku meninggal, aku tidak pernah meninggalkan sebuah fitnah (godaan) yang lebih
berbahaya bagi kaum lelaki selain fitnah (godaan) kaum wanita.” (HR.
Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741)
Wallahu
a’lam bish-shawab
Referensi:
Abu Abdillah Husain bin Ali Ash-Shaimari Al-Hanafi, Akhbaru Abi Hanifah wa Ashabihi, 1/50-51, Beirut: Dar ‘Alamil Kutub, cet. 2, 1405 H.
Abu Abdillah Husain bin Ali Ash-Shaimari Al-Hanafi, Akhbaru Abi Hanifah wa Ashabihi, 1/50-51, Beirut: Dar ‘Alamil Kutub, cet. 2, 1405 H.
Muhammad
bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’, 6/390-403, Beirut:
Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H